Berita Bitcoin · 7 min read

Bitcoin di Mata Gita Wirjawan: Peluang dan Tantangannya di Indonesia

Gita Wirjawan

Bitcoin, aset kripto yang pertama kali diciptakan oleh Satoshi Nakamoto pada tahun 2009, telah menjadi topik menarik bagi dunia perekonomian global, termasuk untuk Indonesia.

Untuk memahami lebih dalam tentang relevansi dan dampak Bitcoin di Indonesia, Coinvestasi berkesempatan mewawancarai Gita Wirjawan, Mantan Menteri Perdagangan Indonesia periode 2011-2014 di sela-sela acara Indonesia Bitcoin Conference 2023 pada 27 Oktober lalu.

Menariknya Bitcoin dari Teknologi dan Ekonomi

Foto: Tim Coinvestasi melakukan wawancara eksklusif bersama Gita Wirjawan. Sumber: Dok. Istimewa.

Menurut Gita Wirjawan, ada beberapa alasan mengapa Bitcoin menarik untuk dipelajari.

“Pertama, dari sisi teknologi, Bitcoin terbukti “resilient” atau tangguh, Bitcoin tidak dinahkodai,” kata Gita Wirjawan.

Bitcoin beroperasi dalam sistem desentralisasi, yang membuatnya lebih tahan terhadap manipulasi atau pengaruh dari pihak tertentu.

Kedua, dari sisi ekonomi, Bitcoin memiliki pasokan terbatas, yang menurut Gita, ini berbeda dengan mata uang fiat atau bahkan kripto lainnya yang diperbanyak pasokannya, yang pada akhirnya bisa menyebabkan inflasi.

Jumlah Bitcoin hanya 21 juta keping dan akan habis ditambang pada 2140. Setelah itu maka tidak akan ada lagi Bitcoin yang dihasilkan.  

Dalam wawancara ini, Gita Wirjawan yang sekarang lebih aktif dalam podcast Endgame juga menyebutkan Bitcoin merupakan salah satu solusi inflasi.

 “Ini bisa menjadi alternatif baru yang perlu dipertimbangkan (untuk inflasi), namun ini bukanlah solusi yang zero-sum game,“ katanya. 

Zero sum game dapat diartikan bahwa keberadaan Bitcoin sebagai alternatif solusi keuangan tidak harus mengeliminasi atau mengurangi relevansi dari sistem keuangan yang sudah ada. Keduanya bisa berjalan berdampingan dan saling melengkapi.

Baca juga: Jack Dorsey Sebut Bitcoin adalah Revolusi

Dampak dan Tantangan Bitcoin di Indonesia

Gita Wirjawan juga percaya, Bitcoin bisa memberikan dampak yang cukup berarti di Indonesia, terutama dalam memberikan akses keuangan yang lebih mudah.

 “Ini bisa menjadi alternatif untuk siapapun yang selama ini terbatas aksesnya dikarenakan sistem yang sentralistis, tapi kita juga harus menghormati sistem yang sudah ada lebih dulu (sentralistis),” katanya. 

Mengutip dari The Asian Banker, Indonesia, merupakan salah satu negara dengan tingkat penduduk yang memiliki rekening bank terendah di Asia Tenggara, dengan 51% penduduknya tidak memiliki rekening bank, dan 36% penduduknya tidak mendapatkan akses ke produk keuangan tradisional lain meski memiliki rekening bank.

Hal tersebut disebabkan karena bank tradisional menghadapi tantangan besar untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas.

Di sisi lain, meski Bitcoin bisa memberikan inklusi keuangan, namun Gita Wirjawan juga menyoroti kendala yang dihadapi, utamanya terkait konsumsi energi yang besar dari Bitcoin.

“Di negara berkembang seperti Indonesia, masih ada keterbatasan energi, mau tidak mau akan menyebabkan keterbatasan yang cukup struktural untuk Bitcoin itu bisa menjadi use case untuk masyarakat luas,“ katanya. 

Konsumsi energi Bitcoin memang telah lama jadi perhatian karena banyaknya energi yang dibutuhkan. Menurut New York Times, penambangan Bitcoin menghabiskan sekitar 0,5% dari seluruh energi yang diproduksi di seluruh dunia. 

Selain itu, listrik yang dikonsumsi oleh penambangan Bitcoin tujuh kali lebih tinggi dibandingkan penggunaan energi gabungan dari operasi Google di seluruh dunia.

Laporan yang sama mengungkapkan bahwa dibutuhkan sekitar “9 tahun listrik rumah tangga pada umumnya” untuk menambang satu bitcoin. Pada Mei 2023, penambangan Bitcoin diperkirakan menghabiskan sekitar 95,58 terawatt-jam listrik.

Solusi untuk Energi Bitcoin Mining

Mengatasi hal ini industri penambangan Bitcoin pun mulai beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. Melansir dari Investing.com, kekuatan komputasi jaringan Bitcoin sebagian besar berada di AS, Tiongkok, dan Kazakhstan, yang menyumbang sekitar 75% dari totalnya. 

Negara-negara ini masing-masing memperoleh 22,5%, 30,2%, dan 11,3% listriknya dari energi terbarukan. Meskipun demikian, batu bara tetap menjadi sumber energi utama di Kazakhstan dan Tiongkok, meskipun Tiongkok juga banyak berinvestasi pada tenaga angin dan surya.

“Solusi peningkatan daya energi untuk negara-negara berkembang perlu dipikirkan,” tutup Gita Wirjawan.

Baca juga: Hotel di Swiss Mining Bitcoin Pakai Energi Listrik dari Produksi Makanan

Disclaimer

Konten baik berupa data dan/atau informasi yang tersedia pada Coinvestasi hanya bertujuan untuk memberikan informasi dan referensi, BUKAN saran atau nasihat untuk berinvestasi dan trading. Apa yang disebutkan dalam artikel ini bukan merupakan segala jenis dari hasutan, rekomendasi, penawaran, atau dukungan untuk membeli dan menjual aset kripto apapun.

Perdagangan di semua pasar keuangan termasuk cryptocurrency pasti melibatkan risiko dan bisa mengakibatkan kerugian atau kehilangan dana. Sebelum berinvestasi, lakukan riset secara menyeluruh. seluruh keputusan investasi/trading ada di tangan investor setelah mengetahui segala keuntungan dan risikonya.

Gunakan platform atau aplikasi yang sudah resmi terdaftar dan beroperasi secara legal di Indonesia. Platform jual-beli cryptocurrency yang terdaftar dan diawasi BAPPEBTI dapat dilihat di sini.

author
Anisa Giovanny

Editor

arrow

Terpopuler

Loading...
Loading...
Loading...
Loading...
Loading...

#SemuaBisaCrypto

Belajar aset crypto dan teknologi blockchain dengan mudah tanpa ribet.

Coinvestasi Update Dapatkan berita terbaru tentang crypto, blockchain, dan web3 langsung di inbox kamu.